Saya tertarik membaca perseteruan artis Luna Maya dan pekerja infotainment. Kejadian ini mengembalikan memori ingatan untuk mundur lima tahun ke belakang.
Sesungguhnya, perseteruan antara pekerja infotainment terhadap selebriti pernah terjadi di tahun 1995. Ketika itu sederet kasus yang melibatkan artis dan pekerja selebriti mencuat. Ingat bagaimana seorang komedian Parto yang mengacungkan pistol ketika terdesak oleh pertanyaan para pekerja infotainment, atau artis Bella Shapira yang pernah marah-marah ketika ditanyai, apakah ia seorang wanita panggilan? Demikian juga Sarah Ashari melempar asbak setelah berkonflik dengan pekerja infotainment?
Persoalan ini kemudian bergulir bukan lagi antara selebriti vs pekerja infotainment. Tetapi pada sebuah pertanyaan, apakah pekerja infotainment adalah juga seorang jurnalis (wartawan)?
Ini dilandasi oleh cara-cara yang dilakukan para pekerja infotainment untuk mewawancarai narasumbernya yang cenderung tidak mengikuti etika sebagai seorang jurnalis.
Menurut Ketua Persatuan Artis Sinetron Indonesia (PARSI), Anwar Fuadi dalam buku Potret Pers Indonesia (yang diterbitkan Dewan Pers-2005), para pekerja infotainment sering memaksa, mencaci maki, menggedor pintu dan bahkan lebih parah menerobos masuk pekarangan rumah narasumbernya untuk melakukan wawancara.
Ingat, peliputan kasus di kalangan artis berbeda dengan skandal yang dilakukan oleh pejabat negara. Meski sama-sama publik figur, tapi profesi artis berbeda dengan pejabat negara yang disumpah dan digaji oleh negara. Wajar, jika kemudian metode peliputan terhadap pejabat yang terlibat kasus korupsi atau kriminal, bisa dilakukan dengan cara-cara tak biasa.
Ignatius Haryanto, Peneliti di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta dalam tulisannya berjudul ”Selebritas dan Jurnalisme Infotainment” (Potret Pers Indonesia-diterbitkan Dewan Pers) mencoba mengurai apakah pekerja infotainment itu masuk dalam kategori wartawan atau bukan.
Dalam tulisannya itu, Ignatius memang tidak secara konkret menolak pekerja infotainment disetarakan dengan profesi wartawan. Namun dia membandingkan bagaimana metode kerja yang dilakoni jurnalis dengan pekerja infotainment tersebut.
Jurnalis bekerja untuk mencari dan menyiarkan berita demi kepentingan publik, untuk memenuhi rasa keadilan dan ketidakadilan masyarakat yang lebih luas. Seorang jurnalis juga bekerja berdasarkan standar profesi yang tinggi dengan rules dan regulasi yang mengikutinya dalam hal ini Kode Etik Jurnalis Indonesia (KEJI).
Sementara para pekerja infotainment berkutat pada wilayah personal/privat si artis. Domain yang digarap adalah hiburan yang melulu bicara soal kehidupan pribadi artis, kawin, cerai, selingkuh, meninggal, melahirkan, pindah agama, merayakan hari besar dan bahkan profil dari benda-benda pribadi yang dimiliki si artis.
Jika pekerja infotainment mau dilihat sebagai jurnalis yang meliput dunia hiburan, maka dunia hiburan tak melulu soal pribadi si artis saja, tapi bisa diperluas dari struktur ekonomi-politik-hukum dari dunia hiburan tersebut. Dan ini luput ditulis oleh banyak para pekerja dunia hiburan.
Contoh kasus. Saya pernah melihat tayangan infotainment yang meliput pasangan selebriti beserta kedua anaknya melakukan perjalanan ke lokasi hiburan keluarga. Tayangan tersebut menggambarkan bagaimana happy-nya pasangan tersebut.
Anda tahu, selebriti yang ditayangkan tersebut ternyata adalah pasangan kumpul kebo. Anak-anak mereka lahir tanpa ikatan pernikahan yang disahkan oleh agama ataupun negara. Sesuatu yang tabu bagi budaya masyarakat timur. Tapi pekerja infotainment sepertinya mengabaikan dampak dari tayangan tersebut. Karena pesan yang muncul di masyarakat adalah, hidup tanpa hubungan pernikahan ternyata bisa dilakukan di Indonesia.
Padahal dalam diri seorang jurnalis, dia harus memiliki semangat kontrol sosial atas ketidakadilan/ketidakwajaran yang terjadi di sekitarnya. Jika memang tidak berani mengkritik pasangan tersebut, harusnya infotainment tidak memberi ruang yang bebas bagi pasangan tadi. Sebab, pemberian porsi yang bebas di dunia infotainment itulah, karier dan pendapatan kedua pasangan tersebut terus meroket.
Reaksi PWI Jaya Ancam Kebebasan Pers?
Kita kembali ke kasus Luna Maya. Saya menilai Luna Maya tentu punya alasan mengapa harus mengeluarkan umpatan di twitternya. Mencermati pemberitaan di infotainment, kronologi kasus ini bermula ketika Luna Maya menghadiri pemutaran film Sang Pemimpi bersama orangtua dan Alleia, putri Ariel (sang kekasih), Selasa (15/12) malam.
Usai acara, Luna Maya menggendong sang putri kecil tersebut yang tengah tertidur. Mendapat angel yang menarik, para pekerja infotainment kemudian mengejar Luna Maya untuk dimintai keterangan.
Luna Maya bukan menolak untuk diwawancarai, tapi dia harus membawa Alleia masuk ke mobil dan memberinya ruang yang nyaman untuk tidur di sana. Tapi para pekerja infotainment seakan tak memedulikan permintaan itu. Mereka ngotot mengejar hingga kemudian Luna Maya terdesak, dan kepalanya terbentur kamera salah satu infotainment.
Di sinilah amarah Luna memuncak. Alleia ia serahkan kepada ibunya Ariel dan meladeni kemauan infotainment untuk diwawancarai. Dalam wawancara tersebut, Luna tidak sedikitpun mengeluarkan makian atau umpatan. Dia hanya menyampaikan kekesalannya atas perlakukan para pekerja infotainment tersebut.
Usai wawancara itulah, kemudian di twitternya Luna menulis : “Infotaiment derajatnya lebih HINA dari pada PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!!
Jika pekerja infotainment tersebut seorang jurnalis, maka mereka tentu menghargai privasi si artis. Memberi ruang bagi Luna Maya untuk membawa anak kecil yang sedang tertidur dalam pelukannya itu lalu kemudian memenuhi janjinya untuk diwawancarai di lobby. Jika komunikasi berjalan, makiannya di twitter tersebut jelas tidak akan pernah ada.
Menurut saya, umpatan Luna Maya di Twitter tersebut adalah hal yang wajar. Itu ekspresi dirinya yang kesal terhadap perlakuan para pekerja infotainment. Sama halnya komentar yang kita sampaikan karena kecewa terhadap ketidakadilan di negara ini.
Lagi pula, di situs jejaringannya itu, dia tidak menyebutkan lembaga atau individu infotainment tertentu. Lalu kenapa pula para pekerja infotainment tersebut harus marah? Apakah pekerja infotainment tak boleh dikritik? Apa mereka lebih hebat dari polisi, jaksa, hakim atau bahkan presiden yangg belakangan ini sering dihujat di situs jejaringan sosial?
Jika kasus ini kemudian bergulir ke polisi, saya khawatir di kemudian hari kasus yang sama akan jadi bola panas bagi siapapun yg mengkritik kinerja institusi negara di jejaringan sosial termasuk FB. Lalu apa gunanya publik membela perlakukan semena-mena RS Omni terhadap Prita Mulyasari?
Bahkan bukan tidak mungkin, sejuta facebooker yang mendukung pembebasan Bibit- Candra terancam dilaporkan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena di komunitas jejaringan sosial tersebut berisi jutaan makian dan hujatan terhadap pihak-pihak yang dilawan. Atau RS OMNI akan mempidanakan orang-orang yang tergabung dalam komunitas yang mendukung Prita Mulyasari.
Karena itu saya sangat menyayangkan dan menyesalkan sikap PWI Jaya dan pekerja infotainment yang terburu-buru melaporkan Luna Maya ke polisi. Delik yang dijeratkanpun tak main-main, pasal 27 ayat (3) UU No. 11 tahun 2008 ITE.
Menurut pasal 27 ayat (3) UU ITE, setiap orang yang mencemarkan nama baik melalui media elektronik diancam hukuman penjara maksimal 6 tahun. Jelas, pasal ini sangat kejam dan berpotensi memberangus kebebasan berekspresi.
Seharusnya, pernyataan Luna Maya dipahami sebagai ekspresi kejengkelan masyaraat terhadap pekerja infotainment yang gemar melanggar hak privasi orang dan tidak mengindahkan etika. Mungkin saja kata-kata Luna Maya tersebut terlalu kasar dan tidak pantas. Tapi kata-kata tak akan berdampak buruk, apalagi jika dibanding dengan liputan-liputan infotainment yang kerap mengupas kehidupan pribadi para artis.
Sebab itu, saya menolak siapapun, baik institusi atau pun individu yang mencoba menjerat komentar-komentar pengguna situs jejaringan sosial ke jalur hukum. Bagi saya ini adalah bentuk kriminalisasi berekspresi, yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Sebaiknya, balas kata-kata dengan kata-kata, jangan dipenjarakan.
Hal yang sungguh lebih berbahaya lagi adalah, laporan PWI Jaya tersebut akan menjadi preseden buruk bagi pers Indonesia yang selama ini mengagungkan hak jawab bagi narasumber yang merasa keberatan atas pemberitaan media.
Di samping itu pula, jika memang pekerja infotainment adalah bagian dari jurnalis, harusnya mereka juga mengikuti peraturan yang di atur dalam UU Pers 1999. Atau meminta klarifikasi ke Luna Maya terhadap pernyataannya tersebut. Jika tidak bisa juga, lakukan mediasi ke Dewan Pers. Saya kok khawatir, laporan PWI Jaya tersebut akan menjadi alat justifikasi bagi narasumber lain untuk tak menggunakan hak jawab atas pemberitaan yang merugikannya.
Karena itu saya tidak habis pikir, kenapa PWI Jaya dan para pekerja infotainment tersebut membawa masalah ini melalui jalur pidana. Bukankah reaksi pekerja infotainment ini semakin memperlebar perdebatan jika pekerja infotainment bukan bagian dari profesi jurnalis.
Jika memang begitu kesimpulannya, tolong dong jangan Anda mengaku-ngaku sebagai jurnalis. Saya dan bahkan mungkin sejumlah orang lainnya yang berprofesi sebagai jurnalis justru bisa melaporkan balik, karena Anda-Anda telah mempermalukan profesi kami, sebagai jurnalis!
Sesungguhnya, perseteruan antara pekerja infotainment terhadap selebriti pernah terjadi di tahun 1995. Ketika itu sederet kasus yang melibatkan artis dan pekerja selebriti mencuat. Ingat bagaimana seorang komedian Parto yang mengacungkan pistol ketika terdesak oleh pertanyaan para pekerja infotainment, atau artis Bella Shapira yang pernah marah-marah ketika ditanyai, apakah ia seorang wanita panggilan? Demikian juga Sarah Ashari melempar asbak setelah berkonflik dengan pekerja infotainment?
Persoalan ini kemudian bergulir bukan lagi antara selebriti vs pekerja infotainment. Tetapi pada sebuah pertanyaan, apakah pekerja infotainment adalah juga seorang jurnalis (wartawan)?
Ini dilandasi oleh cara-cara yang dilakukan para pekerja infotainment untuk mewawancarai narasumbernya yang cenderung tidak mengikuti etika sebagai seorang jurnalis.
Menurut Ketua Persatuan Artis Sinetron Indonesia (PARSI), Anwar Fuadi dalam buku Potret Pers Indonesia (yang diterbitkan Dewan Pers-2005), para pekerja infotainment sering memaksa, mencaci maki, menggedor pintu dan bahkan lebih parah menerobos masuk pekarangan rumah narasumbernya untuk melakukan wawancara.
Ingat, peliputan kasus di kalangan artis berbeda dengan skandal yang dilakukan oleh pejabat negara. Meski sama-sama publik figur, tapi profesi artis berbeda dengan pejabat negara yang disumpah dan digaji oleh negara. Wajar, jika kemudian metode peliputan terhadap pejabat yang terlibat kasus korupsi atau kriminal, bisa dilakukan dengan cara-cara tak biasa.
Ignatius Haryanto, Peneliti di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta dalam tulisannya berjudul ”Selebritas dan Jurnalisme Infotainment” (Potret Pers Indonesia-diterbitkan Dewan Pers) mencoba mengurai apakah pekerja infotainment itu masuk dalam kategori wartawan atau bukan.
Dalam tulisannya itu, Ignatius memang tidak secara konkret menolak pekerja infotainment disetarakan dengan profesi wartawan. Namun dia membandingkan bagaimana metode kerja yang dilakoni jurnalis dengan pekerja infotainment tersebut.
Jurnalis bekerja untuk mencari dan menyiarkan berita demi kepentingan publik, untuk memenuhi rasa keadilan dan ketidakadilan masyarakat yang lebih luas. Seorang jurnalis juga bekerja berdasarkan standar profesi yang tinggi dengan rules dan regulasi yang mengikutinya dalam hal ini Kode Etik Jurnalis Indonesia (KEJI).
Sementara para pekerja infotainment berkutat pada wilayah personal/privat si artis. Domain yang digarap adalah hiburan yang melulu bicara soal kehidupan pribadi artis, kawin, cerai, selingkuh, meninggal, melahirkan, pindah agama, merayakan hari besar dan bahkan profil dari benda-benda pribadi yang dimiliki si artis.
Jika pekerja infotainment mau dilihat sebagai jurnalis yang meliput dunia hiburan, maka dunia hiburan tak melulu soal pribadi si artis saja, tapi bisa diperluas dari struktur ekonomi-politik-hukum dari dunia hiburan tersebut. Dan ini luput ditulis oleh banyak para pekerja dunia hiburan.
Contoh kasus. Saya pernah melihat tayangan infotainment yang meliput pasangan selebriti beserta kedua anaknya melakukan perjalanan ke lokasi hiburan keluarga. Tayangan tersebut menggambarkan bagaimana happy-nya pasangan tersebut.
Anda tahu, selebriti yang ditayangkan tersebut ternyata adalah pasangan kumpul kebo. Anak-anak mereka lahir tanpa ikatan pernikahan yang disahkan oleh agama ataupun negara. Sesuatu yang tabu bagi budaya masyarakat timur. Tapi pekerja infotainment sepertinya mengabaikan dampak dari tayangan tersebut. Karena pesan yang muncul di masyarakat adalah, hidup tanpa hubungan pernikahan ternyata bisa dilakukan di Indonesia.
Padahal dalam diri seorang jurnalis, dia harus memiliki semangat kontrol sosial atas ketidakadilan/ketidakwajaran yang terjadi di sekitarnya. Jika memang tidak berani mengkritik pasangan tersebut, harusnya infotainment tidak memberi ruang yang bebas bagi pasangan tadi. Sebab, pemberian porsi yang bebas di dunia infotainment itulah, karier dan pendapatan kedua pasangan tersebut terus meroket.
Reaksi PWI Jaya Ancam Kebebasan Pers?
Kita kembali ke kasus Luna Maya. Saya menilai Luna Maya tentu punya alasan mengapa harus mengeluarkan umpatan di twitternya. Mencermati pemberitaan di infotainment, kronologi kasus ini bermula ketika Luna Maya menghadiri pemutaran film Sang Pemimpi bersama orangtua dan Alleia, putri Ariel (sang kekasih), Selasa (15/12) malam.
Usai acara, Luna Maya menggendong sang putri kecil tersebut yang tengah tertidur. Mendapat angel yang menarik, para pekerja infotainment kemudian mengejar Luna Maya untuk dimintai keterangan.
Luna Maya bukan menolak untuk diwawancarai, tapi dia harus membawa Alleia masuk ke mobil dan memberinya ruang yang nyaman untuk tidur di sana. Tapi para pekerja infotainment seakan tak memedulikan permintaan itu. Mereka ngotot mengejar hingga kemudian Luna Maya terdesak, dan kepalanya terbentur kamera salah satu infotainment.
Di sinilah amarah Luna memuncak. Alleia ia serahkan kepada ibunya Ariel dan meladeni kemauan infotainment untuk diwawancarai. Dalam wawancara tersebut, Luna tidak sedikitpun mengeluarkan makian atau umpatan. Dia hanya menyampaikan kekesalannya atas perlakukan para pekerja infotainment tersebut.
Usai wawancara itulah, kemudian di twitternya Luna menulis : “Infotaiment derajatnya lebih HINA dari pada PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!!
Jika pekerja infotainment tersebut seorang jurnalis, maka mereka tentu menghargai privasi si artis. Memberi ruang bagi Luna Maya untuk membawa anak kecil yang sedang tertidur dalam pelukannya itu lalu kemudian memenuhi janjinya untuk diwawancarai di lobby. Jika komunikasi berjalan, makiannya di twitter tersebut jelas tidak akan pernah ada.
Menurut saya, umpatan Luna Maya di Twitter tersebut adalah hal yang wajar. Itu ekspresi dirinya yang kesal terhadap perlakuan para pekerja infotainment. Sama halnya komentar yang kita sampaikan karena kecewa terhadap ketidakadilan di negara ini.
Lagi pula, di situs jejaringannya itu, dia tidak menyebutkan lembaga atau individu infotainment tertentu. Lalu kenapa pula para pekerja infotainment tersebut harus marah? Apakah pekerja infotainment tak boleh dikritik? Apa mereka lebih hebat dari polisi, jaksa, hakim atau bahkan presiden yangg belakangan ini sering dihujat di situs jejaringan sosial?
Jika kasus ini kemudian bergulir ke polisi, saya khawatir di kemudian hari kasus yang sama akan jadi bola panas bagi siapapun yg mengkritik kinerja institusi negara di jejaringan sosial termasuk FB. Lalu apa gunanya publik membela perlakukan semena-mena RS Omni terhadap Prita Mulyasari?
Bahkan bukan tidak mungkin, sejuta facebooker yang mendukung pembebasan Bibit- Candra terancam dilaporkan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena di komunitas jejaringan sosial tersebut berisi jutaan makian dan hujatan terhadap pihak-pihak yang dilawan. Atau RS OMNI akan mempidanakan orang-orang yang tergabung dalam komunitas yang mendukung Prita Mulyasari.
Karena itu saya sangat menyayangkan dan menyesalkan sikap PWI Jaya dan pekerja infotainment yang terburu-buru melaporkan Luna Maya ke polisi. Delik yang dijeratkanpun tak main-main, pasal 27 ayat (3) UU No. 11 tahun 2008 ITE.
Menurut pasal 27 ayat (3) UU ITE, setiap orang yang mencemarkan nama baik melalui media elektronik diancam hukuman penjara maksimal 6 tahun. Jelas, pasal ini sangat kejam dan berpotensi memberangus kebebasan berekspresi.
Seharusnya, pernyataan Luna Maya dipahami sebagai ekspresi kejengkelan masyaraat terhadap pekerja infotainment yang gemar melanggar hak privasi orang dan tidak mengindahkan etika. Mungkin saja kata-kata Luna Maya tersebut terlalu kasar dan tidak pantas. Tapi kata-kata tak akan berdampak buruk, apalagi jika dibanding dengan liputan-liputan infotainment yang kerap mengupas kehidupan pribadi para artis.
Sebab itu, saya menolak siapapun, baik institusi atau pun individu yang mencoba menjerat komentar-komentar pengguna situs jejaringan sosial ke jalur hukum. Bagi saya ini adalah bentuk kriminalisasi berekspresi, yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Sebaiknya, balas kata-kata dengan kata-kata, jangan dipenjarakan.
Hal yang sungguh lebih berbahaya lagi adalah, laporan PWI Jaya tersebut akan menjadi preseden buruk bagi pers Indonesia yang selama ini mengagungkan hak jawab bagi narasumber yang merasa keberatan atas pemberitaan media.
Di samping itu pula, jika memang pekerja infotainment adalah bagian dari jurnalis, harusnya mereka juga mengikuti peraturan yang di atur dalam UU Pers 1999. Atau meminta klarifikasi ke Luna Maya terhadap pernyataannya tersebut. Jika tidak bisa juga, lakukan mediasi ke Dewan Pers. Saya kok khawatir, laporan PWI Jaya tersebut akan menjadi alat justifikasi bagi narasumber lain untuk tak menggunakan hak jawab atas pemberitaan yang merugikannya.
Karena itu saya tidak habis pikir, kenapa PWI Jaya dan para pekerja infotainment tersebut membawa masalah ini melalui jalur pidana. Bukankah reaksi pekerja infotainment ini semakin memperlebar perdebatan jika pekerja infotainment bukan bagian dari profesi jurnalis.
Jika memang begitu kesimpulannya, tolong dong jangan Anda mengaku-ngaku sebagai jurnalis. Saya dan bahkan mungkin sejumlah orang lainnya yang berprofesi sebagai jurnalis justru bisa melaporkan balik, karena Anda-Anda telah mempermalukan profesi kami, sebagai jurnalis!
12 comments
salut =D>
ini namanya jurnalis yang mencerahkan sekaligus mencerdaskan rakyat Indonesia....bravo bang!
terimakasih. dukungan ini tak semata untuk luna maya. tapi bagi sesiapapun yang menjadi korban UU ITE.
Kayaknya wartawan infotainment memang pantas disebut lebih rendah dari pelacur dan pembunuh. Kan mereka memang "pembunuh karakter" dan "pelacur tinta" atau bahkan mucikarinya yang menjual harga diri orang demi uang.
Wartawan infotainment itu kan memang pembunuh alias "pembunuh karakter" dan juga pelacur bahkan mucikarinya karena menjual harga diri orang demi uang.
Kalo jurnalis itu mengungkapkan fakta.. klo wartawan infotainment itu menciptakan fakta.. lebih tepatnya mereka menciptakan berita mereka sendiri bukan fakta.. mereka lebih sering menulis berita yg tak berdasar fakta sebenarnya..
ulasan yang mantap... izinkan saya untuk meng quote nya ya mas..
Salam kenal, saya LendraBayu, mahasiswa Ilmu Komunikasi.
1st, postingan keren!
tapi saya justru berharap banyak sama kasus ini, semoga para wartawan infotainment justru menggali lubang kuburnya sendiri lewat tindakannya mempidanakan Luna Maya
2nd, minta ijin saya link dari blog saya ya? :)
artikel yg menarik. Terus terang sbg jurnalis saya kecewa dengan perilaku pekerja infotainment yang tidak memperdulikan hak-hak narasumbernya. Smoga saja dengan adanya kasus Luna Maya ini, awak infotainment bisa lebih bijak lagi saat liputan, jika tidak mereka tidak bisa disejajarkan dengan seorang jurnalis.
lebay. terimakasih. silahkan dipergunakan seperlunya. :) salam kenal.
@putribakri. tidak hanya kita, sejumlah organisasi pers, termasuk dewan pers juga sangat menyayangkan sikap-sikap awak pekerja infotainment tersebut.
bahkan, menurut Bambang Harimurti,
Ketua umum PWI tak setuju dengan penggunaan UU ITE ini.
putri, thx sudah bisa sharing di blog saya.
Mantab Gan!
Izin fosting ke milis, biar jadi bahan diskusi yang sehat...
Post a Comment