PADA PAGI AKU MERINTIH

Share:
Sabtu, 23 November 2001
pukul 5.00 WIB


D an pagi kembali datang. Sepertinya sudah tak terhitung doa yang telah kupanjatkan. Aku menunggu, menanti dan mencari jawaban atas doa-doa yang telah kumohonkan. Aku yakin, doa sepertiga pagi memiliki prioritas di tangan Nya. Tapi benarkah? Bukankah semuanya sudah aku lakukankan. Kenapa jawaban atas doa-doaku tak kunjung datang.



E ntah sudah berapakali aku menjalani pagi seperti ini. Matahari belum lagi muncul di ufuk timur. Saat aku selesai menjalankan sujud syukur. Dalam do’a,aku bermohon supaya diberikan jalan keluar dari semua dilemaku. Agar mendapati kehidupan yang lebih baik. Diberikannya hidayah dan petunjuk agar aku tidak tergelincir ke jalan yang salah. Sebagai hamba, aku memohon agar terus dibimbing.



D alam hitunganku,lebih empat bulan aku begini. Setiap fajar menjelang, duduk dan terus merenungi nasib yang sama. Pagi yang dulu membuatku bergairah dan bersemangat,seketika menjadi belenggu yang memuakkan. Akankah aku salahkan Dia? Kenapa doa-doaku tidak tersentuh? Mengapa Dia perlakukan aku begini? Bukankan Dia mengetahui,aku hidup tidak sendiri lagi? Masih ada tanggungjawab yang harus aku berikan pada anak, istri dan setidaknya pada diri sendiri.

Y ang pasti, aku lelah. Letih.Pikiran ku mumet. Otakku penat. Aku putus asa. Apatis menjalani hidup. Tapi aku sadar, aku tidak ingin terjebak dalam pusaran kebodohan. Aku tetap mencoba membuka mata,bertahan memutari waktu yang terus berlalu. Batin ku terus menjerit dan merintih.

“ Tolonglah! Siapa lagi yang dapat mengeluarkan aku dari lilitan hidup ini? Hanya pada MU Tuhan.”

A ku memang tak berputus asa. Tak berpangku tangan dengan segala ini. Berbagai usaha telah aku coba. Tapi, aku terjebak dalam roda yang terus berputar. Aku harus menanti. Sekali lagi aku lelah. Cukuplah sudah. Semua harus diakhiri. Jangan biarkan waktu untuk menunggu.

R asanya,siang nanti pasti sama dengan kemarin. Kegalauan seperti tiga hari yang lalu. Kegetiran layaknya seminggu lalu dan merasakan kekosongan seperti 3 bulan silam. “ Papa tidak kerja? ” pertanyaan lugu dan polos mengalir dari bibir mungil bocah kecil ku. Seolah menyeretku ke dalam arus yang tak berakhir.

D an si kecil yang manis. Aku mendambakan pagi yang terlewatkan bersamanya. Ketika dia meletakkan ciuman manja, memeluk sebelum aku berangkat menantang matahari. Dialah penghibur hati. Dia tahu tanpa menyadari kapan harus membuat ku tertawa. Tersenyum. Dan melupakan sejenak persoalan hidup.

I roni dalam sepenggal pengalaman pahit. Aku terdiam. Barangkali waktu yang dapat menjawab semua. Tiga tahun yang silam, aku bersahabat dengan waktu. Waktu begitu akrab menemaniku. Ketika aku kuliah, saat si kecil masih dua bulan dalam rahim pacar ku. Itulah awal perkenalanku dengan waktu. Waktu jua yang mewajibkan aku menjadi ayah buat dia. Memberikannya perlindungan. Menjadikan hidupnya senyaman mungkin. Waktu pula yang menjadi saksi betapa aku terisolir, jauh dari keluarga dan mengasingkan diri dari kehidupan.

A khirnya semua itu bisa kulalui. Waktu mengajakku untuk berputar. Dialah guru terbaikku. Waktu pula yang selalu membisikkan “ Yakinlah, matahari esok akan lebih bersinar lagi.”

Sabtu, 23 September 2001,
Pukul 05.37 WIB.

N ur matahari mulaimerangkak naik. Ayam telah mulai berteriak lantang. Embun pun mulai tersibak. Di kamar depan, istri kumasih lelap menemani buah hati kami.Malam tadi, ketika aku terjaga, aku tercenung melihat seberkas senyum dari bibir istriku yang masih terlelap. Terpancar kebahagian di sana. Manis sekali. Barangkali dia bermimpi aku memberikan sebuah cincin, sesuatu yang sampai saat ini belum aku wujudkan. Sebuah tanda tulus dan kasih ku.

Kali ini aku masih tercenung menatapnya. Merenungkan kebahagian dirinya yang terampas demikian panjang. Sejak berucap janji di depan orang tuanya, tak satu sinar kebahagian dunia aku berikan. Tidak juga Idul Fitri kali ini. Semuanya teramat sulit. Rantai cobaan masih mengikat kuat laksana siksaan batin yang tak kunjung sirna. Ketika sekelilingku sibuk menakar fitrah, aku masih terduduk. Terdiam dalam kebisuan yang tak berakhir. Jalan rezeki semakin jauh.

Ketika anak lain berbincang soal baju lebaran,ketika ibu-ibu tetangga berlumuran tepung dan mentega, ketika keluarga lain memperindah istana kecil mereka, ketika itu aku merasa kesepian. Sangat terpukul Tuhan. Aku lelah dengan janji yang kau janjikan. Kapan kau dapat merubah jalan hidup kami yang takpernah menikmati janji- janji-Mu?

S ampai saat ini aku masih memilik anak dan istriku. Merekalah anungerah terindah yang pernah aku dapatkan. Mereka pelita batin ku. Saling mengisi, kerab berbagi. Takkan terpisahkan dalam lelah. Hidup bermiskin harta. Makan sekadarnya.

Alhamdulillah si kecil bertahan dalam pisik yang prima. Tertawa ditengah kubang duka dengan kebahagian masa kecil yang kurenggut. Sebab aku tak bisa membuatnya tertawa lebih lantang. Mengajarkannya untuk membusungkan dada, menuntunnya mencongkakkan diri dengan materi.

Y ah,dia tumbuh dalam lumpur kesengsaraan,dalam himpitan ekonomi yang busuk. Sekali lagi Alhamdulillah,dia masih tegar. Tetap bisa bermain, berlari, tanpa harus menyadari kekurangannya.

“Anakku, jalan hidupmu masih akan terus membentang.”

Sabtu 23 September 2001
Pukul 06.13 WIB

H amba memohon ampun Tuhan. Aku tak akan menyusahkan MU lagi. Pagi ini aku datang kehadapan Mu. Sehingga esok pagi, Kau tak harus mencatat do’a ku lagi. Dan istriku, saat kau baca surat ini, aku sudah pergi. Usah kau tangisi apa yang terjadi. Tegarlah. Jangan sesali apa yang sudah aku lakukan. Bimbinglah si kecil agar menjadi anak yang shaleh. Dan ajarkan padanya untuk terus bertahan dari segala cobaan. Katakana padanya jangan pernah menyerah, tenggelam dalam keputusasaan. Karena waktu tidak mengajarkan hal itu pada ku.


Medan, 1422 H

No comments