media dan pilkada

Share:
Hingar bingar panggung politik pemilihan kepala daerah di Medan usai sudah. Tampil sebagai pemenang adalah pasangan Abdillah-Ramli. Namanya pun kini tercatat dalam sejarah sebagai walikota pertama di Medan pada episode baru perpolitikan di Indonesia yang menggelar pemilihan langsung. Selasa 19 Juli lalu, lelaki berpostur tinggi dan berkulit putih ini akhirnya dilantik menjadi Walikota Medan periode 2005-2010.

Jabatan itu juga adalah klimaks dari perjuangan panjangnya untuk kembali memangku posisi sebagai walikota Medan untuk yang ke dua kali. Berpasangan dengan Ramli, Abdillah mengumpulkan 489.010 suara atau 62,14 mengungguli pasangan Maulana Pohan dan Sigit Pramono Asri yang menjaring 292.803 suara atau 37,49 persen. Hasil yang sebenarnya kurang memuaskan karena jumlah yang tidak memilih lebih besar mencapai 657.067 atau sekitar 45,30 persen dari daftar pemilih yang terdaftar (DPT) sebanyak 1.450.596.

Secara politik, kemenangan pasangan Abdillah- Ramli menduduki jabatan walikota dan wakil walikota Medan sebenarnya belum sudah diprediksi banyak pihak. Itu tak lain karena Abdillah—Ramli didukung delapan partai pemenang pemilu. Diantaranya, Partai Golkar, PDI-P, PAN, PPP, PBR. Sementara yang menjadi pesaingnya, Maulana Pohan yang berpasangan dengan Sigit Pramono Asri cuma didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Lika-liku naiknya pasangan Abdillah-Ramli menjadi walikota dan wakil walikota Medan menarik untuk dicermati. Utamanya bagaimana sepakterjang media massa di Medan dalam menyikapi pemilihan kepala daerah. Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan dan catatan kelam bagi pers di Sumatera Utara. Panasnya suhu politik di Medan ternyata ikut merembet ke redaksi surat kabar di Medan.

Keberpihakan media menghiasi lembar demi lembar surat-surat kabar di Medan. Hampir seluruh koran, radio dan televisi ikut menjadi mesin pemenangan pasangan tertentu. Independensi, integritas serta semangat untuk mendorong iklim demokrasi tergadaikan oleh kepentingan bisnis, kekuasaan dan uang.

***

Senin 27 Juni 2005, bertepatan pada pelaksaan Pilkada yang digelar serentak di Indonesia, termasuk 13 Kabupaten Kota di Sumatera Utara. Hari itu, Harian Waspada yang terbit di Medan menurunkan headline utama berjudul “Pilih yang Sudah Terbukti”. Sekilas judul itu tidak mengandung pesan tertentu. Redaksi salah satu koran terbesar di Medan ini hanya menyimpulkan hasil dari sejumlah kampanye para calon kepala daerah yang menaruh keinginan masyarakat pemilih cenderung menjatuhkan pilihan kepada sosok pemimpin yang sudah terbukti hasil kerja atau prilakunya selama ini. Terlepas apakah calon tersebut sebelumnya memangku jabatan bupati ataupun walikota atau belum.

Tapi bila ditelaah lebih jauh lagi, judul tulisan tersebut sebenarnya ditujukan pada kandidat yang selama ini didukung oleh Waspada. Seperti Abdillah, calon walikota di Medan, Amru Daulay- di Kabupaten Mandailing Natal, Ali Umri di Binjai, Ery Nuriad Kabupaten Serdang Bedagai.

Banyak pengamat media yang kaget terhadap pola pemberitaan koran beroplah 50 ribu eksemplar ini. Tidak sedikit yang menyayangkan dan mempertanyakan keberpihakan mereka. Apalagi itu dilakukan secara sadar. Koran ini secara sadar menjadi alat kampanye pasangan tertentu.

Yang paling fenomenal adalah dukungan koran ini untuk meloloskan Abdillah menjadi Walikota Medan. Headline utama koran ini selalu mencoba menggiring pembacanya untuk menjatuhkan pilihan yang mereka usung. Sepekan menjelang pemilihan langsung misalnya. Headline utama koran ini semakin genjar mengekspose sisi positif Abdillah atau setidaknya menaikkan popularitas Abdillah di hadapan pembacanya. Misalnya berita yang dilansir tanggal 21 Juni 2005 yang menurunkan berita : “11 Alasan Memilih Abdillah”. Berita ini diambil dari tausiyah 12 ulama besar di Medan yang pro kepada Abdillah. Selang tiga hari kemudian, Waspada melansir foto ribuan massa yang menghadiri kampanye terakhir Abdillah.

Redaksi Harian Waspada pun tidak menyangkal telah melakukan keberpihakan pada pelaksanaan Pilkada Kota Medan. Dukungan tersebut tidak hanya dilakukan pribadi wartawan, melainkan juga merupakan kebijakan redaksi untuk memblow-up pasangan Abdillah-Ramli dalam setiap pemberitaan. Ini terekam jelas dalam kolom tajuk rencana yang diturunkan pada 28 Juni 2005 atau satu hari usai pelaksaan Pilkada, dimana sejumlah data pemilihan kepala daerah di Medan memprediksikan kemenangan untuk pasangan Abdillah-Ramli.

Tajuk rencana itu menjelaskan posisi media massa di Medan termasuk Waspada yang secara terang-terangan mengakui mendukung pasangan Abdillah –Ramli. Alasannya, pers telah melakukan pengkajian mendalam sosok Abdillah selama menjabat walikota Medan.

Panasnya suhu politik pemilihan kepala tanpa terelakkan akhirnya memasuki ruang redaksi media massa yang ada di Medan. Media yang mestinya independent dan berintegritas kuat demi terciptanya iklim demokrasi ternyata hanya menjadi simbol semata. Waspada,

Tapi atas nama pers, dalam kolom tajuk rencana tersebut, Waspada tidak sependapat tidak bersikap independent dalam pemberitaan pilkada. Secara tegas Waspada menyebutkan dukungan terhadap Abdillah lebih dikarenakan fakta dilapangan yang memperlihatkan keberhasilan Abdillah selama menjabat sebagai walikota telah memperlihatkan hasil kerjanya.

Sofyan Harahap, Redaktur Pelaksana Harian Waspada menyebutkan, sebelum redaksi mengeluarkan kebijakan untuk mendukung pasangan tertentu, pihaknya telah melakukan riset mendalam kepada masyarakat dan wartawannya. “ Waspada mendukung calon tertentu karena masyarakat lebih banyak memilih calon itu. Rugi dong kita mendukung calon yang ternyata tidak didukung masyarakat,” ujarnya. “ Kebetulan semua calon yang kita dukung menang,” sambung Sofyan bangga.

***

Pada masa pemilihan kepala daerah, ketika dana milyaran rupiah dianggarkan calon tertentu untuk kampanye, media gampang tergelincir menjadi alat kepentingan. Bahkan, bukan tidak mungkin, media yang mengaku independent ternyata telah “dibeli”. Pembelian tersebut dapat dengan berbagai cara, yang termurah adalah “membeli” individu wartawan (melalui amplop), membeli halaman atau jam siaran, atau membeli program TV dan radio. Cara lain adalah melalui iklan terselubung, melalui laporan jurnalistik maupun program siaran.

Pengakuan jujur Hendra DS, koordintaror tim media untuk pemenangan Abdillah, setidaknya cermin bagaimana mereka “membayar” wartawan. Khusus untuk tim media telah tersedia anggaran senilai Rp.700 juta yang diperuntukkan bagi media massa lokal. Anggaran tersebut dibagi kepada wartawan yang tergabung dalam kelompok kerja yang berada di lingkungan Pemko Medan dan DPRD Medan. “ Dana itu tidak termasuk untuk iklan media massa,” jelasnya.

Wartawan yang menjadi anggota DPRD Medan ini punya target tersendiri melebur dalam tim kampanye Abdillah. Selain imbalan materi, target utamanya adalah menjadi wakil walikota Medan.

Profesi Hendra sebagai wartawan selama 20 tahun jelas memudahkannya untuk merangkul wartawan ataupun pemilik media agar berpihak untuk kemenangan Abdillah. “ Sejauh ini kita tidak kesulitan merangkul media. Kebetulan visi dan misinya sama,” ungkapnya. Iklim pers di Medan memang dikenal permisif terhadap amplop. Dari hasil survai Institut Studi Arus Informasi (ISAI) pada masa pemilu legislative dan pilpres lalu menyebutkan 63 persen wartawan di Medan tidak menolak segala pemberian fasilitas dari narasumber.

Beragam ulasan itu pulalah makanya sulit disangkal media bersikap memihak dalam pemberitaan pemilihan kepala daerah. Sejumlah dugaan suap demi meloloskan Abdillah menjadi walikota Medan tidak hanya mengarah ke sejumlah wartawan atau redaksi di Medan. Bahkan beberapa media nasional juga ikut menikmati. Yang paling fenomenal adalah siaran lokal Pilkada yang ditayangkan oleh Metro TV. Program khsusus pilkada yang ditayangkan sejak pukul 19.30 Wib- 20.00 Wib ini mulai mengudara sejak tanggal 10 sampai 27 Juni 2005. Tayangan ini akhirnya melahirkan kecaman dari Partai Keadilan Sejahtera.

PKS menilai, keberadaan siaran lokal tersebut sebagai tunggangan kampanye Abdillah-Ramli. Untuk program tak kurang dari 1 bulan ini, Metro TV disebut-sebut menerima kontrak sebesar Rp. 4 Miliar. Ikrimah Hamidy, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPRD Medan menuding, siaran khusus Pilkada tersebut untuk mendongkrak popularitas Abdillah di mata publik. “ Kami —calon yang diunggulkan PKS— sedikitpun tidak mendapat ruang. Kalaupun ditayangkan, sengaja menjatuhkan citra calon yang kami usung. Materi program tersebut seluruhnya mendongkrak popularitas Abdillah,” sebut Ikrimah.

Belakangan, perjalanan sejumlah pemimpin redaksi di Medan untuk studi banding ke Beijing, Cina, dan Eropa sebagai ucapan terimakasih walikota terpilih menjadi pembicaraan hangat di kalangan jurnalis di Medan. Rombongan itu berangkat begitu Abdillah ditetapkan sebagai pemenang dalam pilkada.

Tapi segala tudingan perjalanan tersebut tersimpan rapi. Seolah hanya menjadi rahasia redaksi yang tidak perlu diangkat ke publik. Abdul Haris Nasution , pemimpin redaksi Harian Mediator yang disebut-sebut sebagai orang yang memprakarsai perjalanan rombongan pemimpin redaksi tersebut membantah isu perjalanan tersebut. Bahkan dia menyatakan tidak ikut serta dalam perjalanan tersebut. “ Semua tudingan itu tidak benar. Tapi kalau ke Australia bersama keluarga itu memang ada,” sebutnya.


***

Bias pemberitaan selalu berpotensi terjadi dalam media, baik disengaja atau tidak. Perusahaan media adalah entitas bisnis yang memerlukan pendapatan dan sokongan dana agar bisnisnya terus berlanjut. Di sisi lain, pengelola media dan wartawan adalah manusia biasa, yang seringkali memiliki preferensi politik. Dua factor tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi independensi media dalam pemilu.

Catatan Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Medan , paling tidak ada 12 media cetak, 2 radio dan 2 televisi melakukan keberpihakan terhadap pasangan Abdillah-Ramli. Modus dukungan yang dilakukan beragam. Ada media yang mendukung secara vulgar, malu-malu dan ada yang tertutup dalam memberikan dukungannya.

Pengamat pers Sumatera Utara Abdul Hakim Siagian menilai, pers di Medan telah kehilangan netralitasnya dalam pemilihan kepala daerah lalu. Tidak hanya melakukan keberpihakan semata, tapi juga ikut menjadi tim sukses pemenangan salah satu calon.

“ Jelas ini membentuk citra yang sangat tidak baik bagi iklim pers kita,”ujarnya.

Hasnul Amar, Pemimpin Redaksi Harian Portibi DNP tersenyum kecut ketika ditanyakan independensi media di Medan berkaitan pemilihan walikota yang baru usai. “ Tidak ada satupun media di Medan yang independent. Mereka tampil dengan stylenya masing-masing. Ada yang terang-terangan tapi ada juga yang malu-malu,” tegasnya.

Hasnul Amar juga mengakui keperpihakan yang dilakukan media yang dipimpinnya. Namun begitu, korannya masih berusaha untuk tampil tidak terlalu mencolok. “ Kita masih memberikan porsi bagi pasangan lain, kendati relatif lebih kecil,” ujarnya membela diri. Perkara mendukung ini Hasnul tidak dapat berbuat banyak. Karena pemilik perusahaan dikenal dekat dengan Abdillah.

“ Redaksi diminta untuk tidak mendiskreditkan pribadi Abdillah. Tapi kalau mengkritisi soal kebijakan institusi—dalam hal ini Pemerintah Kota Medan, tidak ada masalah. Malah sejumlah pemberitaan yang kami turunkan cukup keras melakukan kritikan, ” kata Hasnul.

Selain faktor kedekatan antara pemilik media dengan calon, atau iming-iming materi, alasan bisnis media merupakan jalan pembenaran untuk memuluskan langkah calon tertentu menggaet media. Dengan belanja iklan saja, media sudah dapat mendongkrak keuntungan bersih minimal 50 persen. Sebut saja radio Prapanca FM. Usai kemenangan Abdillah Ramli, seluruh awak redaksi yang terlibat dalam liputan pilkada menerima bonus iklan yang besarnya bervariasi mulai dari Rp. 3 juta rupiah hingga Rp. 12 juta.

Komentar keberpihakan media juga mengalir dari Affan Bey, Pemimpin Redaksi Harian Sumut Pos. Sebagai orang pers, Affan cukup prihatin dengan iklim media di Medan. Pers tidak lagi dapat menempatkan diri menjalankan fungsi pers. “ Dukungan yang diberikan oleh media terlalu membabi buta sehingga melupakan kodrat utamanya sebagai social kontrol,” ujarnya.

Affan sendiri enggan bercerita panjang lebar soal keberpihakan pers di Medan. “ Tidak enak menceritakan teman-teman sendiri. Sekarang saja saya sudah dikucilkan. Adalah yang bilang saya sok suci, sok idealis. Ah, macamlah,” ungkapnya.

Harian Sumut Pos selama ini dikenal cukup berimbang dalam pemberitaan pilkada Medan. Koran itu ikut kerap menurunkan laporan kecurangan tahapan pilkada, baik yang dilakukan penyelenggara pemilu ataupun pasangan calon tertentu. Sesuatu yang langka diberitakan koran lain.

Affan mengklaim bahwa korannya merupakan satu-satunya surat kabar di Medan yang berusaha tampil netral. Tidak berpihak pada pasangan calon tertentu. “ Kita mengacu pada undang-undang. Prinsip keberimbangan tetap kami jaga,” ujarnya. Toh dengan begitu saja, kata Affan, perusahaannya dapat mendongkrak keuntungan hingga 50 persen.

Dewan Pers sebenarnya jauh hari telah mencium gelagat tak sedap model ini. Maraknya permainan politik uang atau money politik di kalangan elite politik belakangan ini memanfaatkan pers. Mengingat keterkaitan pers dengan pelaksanaan Pemilu sangat erat, maka kekhawatirkan permainan politik uang tersebut juga melibatkan pers.

Menurut Wakil ketua Dewan Pers, RH Siregar, kemungkinan keberpihakan pers dalam pemilu itu terjadi mengingat fungsi pers yang demikian strategis sehingga bisa saja kekuatan politik tertentu berupaya mempengaruhi oknum-oknum wartawan atau oknum-oknum jajaran redaksi supaya memberi tempat atau kesempatan yang lebih leluasa kepada pasangan calon bersangkutan.

Dilain pihak, sebagai industri padat modal, dengan sendirinya para investor di bidang perusahaan pers mengharapkan imbalan dari investasi yang ditanamkan, sehingga terjadilah perbenturan yang makin tajam antara kepentingan idiil pers di satu sisi dan kepentingan bisnis pers di sisi lain. “ Dan ternyata berdasarkan pengamatan kami, pada umumnya kepentingan bisnis perslah yang diutamakan dengan mengabaikan kepentingan idiil pers,” sebut Siregar.

Menurut RH Siregar, fenomena ini menjadi menarik untuk dibicarakan, dalam arti kecenderungan yang demikian itu mengakibatkan kurangnya intensitas perhatian media terhadap penyelenggaraan Pemilu. Pada sisi lain, karena terlalu menonjolkan kepentingan bisnis pers menyebabkan fungsi pers sesuai ketentuan perundangan-undangan dikaitkan dengan pemilu menjadi terabaikan.

“ Di zaman keterbukaan sekarang ini Dewan Pers tidak memiliki kekuatan (power full) untuk memberikan sanksi pada media seperti era orde baru. Dewan Pers hanya sekedar memberikan himbauan untuk supaya media independent dan berintegritas kuat demi terciptanya iklim demokrasi,” ucapnya.

Sebuah dilema yang perlu mendapat perhatian mendalam. Media massa, sering dikatakan, berperan penting dalam penyebaran dan pertukaran informasi, serta menjadi sarana bagi public untuk menyampaikan aspirasi dan kontrol sosial-politik.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, media sebenarnya diharapkan tidak sekedar membantu menyebarkan informasi mengenai proses dan aturan pemilu, hak dan kewajiban pemilih, serta kinerja peserta pemilu. Melalui peran tersebut, pers dapat turut aktif melakukan pendidikan politik, membantu masyarakat menentukan pilihan politik mereka. Tak cuma itu, pers juga berperan melakukan control atas pelaksanaan pemilu dengan melaporkan praktik-praktik curang, sejak tahap pendaftaran pemilih hingga perhitungan suara. Media massa diharapkan memainkan peran signifikan untuk membangun iklim demokrasi yang lebih baik.

No comments