KURSI PANAS SANG KETUA

Share:
Setumpuk beban kini disandang Persatuan Sepakbola Medan Sekitarnya (PSMS), klub kebanggan masyarakat Kota Medan. Didukung dana berlimpah dan materi pemain yang berkualitas tapi tak kunjung meraih prestasi tinggi di kancah sepakbola Indonesia.


Sejujurnya, langkah PSMS di Liga Indonesia XII bukanlah sebuah kiamat. Prestasi tim berjulukan Ayam Kinantan ini juga tidak terlalu jelek. PSMS bertengger di urutan ke lima klasmen akhir Wilayah Barat. Artinya jauh dari degradasi. PSMS hanya gagal melaju ke putaran delapan besar yang berarti kehilangan peluang meraih prestasi lebih tinggi.

Persoalan muncul karena perjalanan PSMS dari musim ke musim selalu ditopang anggaran yang bersumber dari APBD kota Medan. Dari tujuh musim kesertaan PSMS di Liga Indonesia sedikitnya Rp 48 Miliar dana masyarakat diambil untuk PSMS. Nominal yang cukup fantastik untuk mendongkrak prestasi tim kebanggaan masyarakat Medan. Tapi pengorbanan masyarakat itu itu tidak sejalan dengan capaian prestasi yang ditargetkan. Ironisnya lagi, dana sebesar itu tidak pernah dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Wajar saja kalau masyarakat lantas menaruh curiga kepada pengurus dan menagihnya untuk bertanggungjawab. Mau tak mau sejumlah nama yang duduk di kepengurusan tim berjulukan Ayam Kinantan itu ikut terseret. Sebut saja Ramli MM, Ketua Harian sekaligus Wakil Walikota Medan. Randiman Tarigan, Wakil Manager yang juga Kepala Dinas Pertamanan Kota Medan. Nama lainnya Jimmy Suhairi Lubis, selaku bendahara.

Banyak yang menilai, nama-nama tersebut dianggap orang yang paling berdosa karena tak menunjukkan kinerja maksimal untuk mengukirkan sejarah sepakbola Medan. Sebuah impian yang sebenarnya sejak lama diidam-idamkan jutaan penggemar si kulit bundar di kota ini, bahkan bukan mustahil seluruh masyarakat Sumatera Utara.

Bagi Martius Latuperissa, tiga nama tersebut memiliki kesamaan. Mereka adalah sekelompok elit di jajaran kepengurusan PSMS Medan yang ambisius. Gesit dan berani melawan arus. Arus yang dimaksud karena mereka tak punya pemahaman soal sepak bola. “ Kita pernah mendengar ada orang yang gila bola, suka bola dan tahu bola. Tapi mereka bukan orang yang masuk dalam kriteria itu” ujarnya.

Ia justru menilai, ketiganya saling bahu membahu menyeret PSMS ke jurang kehancuran. “ Mereka lebih mementingkan prestise daripada pretasi,” ujar mantan pengurus PSMS periode 1999-2003 ini Kamis pekan lalu di Hotel Darma Deli Medan.

Energi negatif jajaran elit pengurus teras PSMS itu juga dibenarkan Ahyar Nasution, salah seorang pengurus PSMS bidang keorganisasian. Menurutnya, sifat ambisius itu merupakan titik kelemahan manajemen. “ Ambisi tinggi pengurus itu tidak ditopang dengan pondasi yang kuat yaitu pembinaan. Mereka merekrut pemain-pemain bermental tempe,” ungkapnya.

Lebih jauh Martius menilai, sepakterjang jajaran elit ini terpengaruh oleh kebijakan Ketua Umum PSMS Medan. Ketua Umum ini tak lain Abdillah, sang Walikota Medan. “ PSMS sekarang ini hanya milik segelintir orang saja. Abdillah dan kroni-kroninya,” ujarnya geram.

Ia punya alasan kuat kenapa Walikota Medan itu harus ikut mempertanggungjawabkan kebobrokan pengurus. “ Seluruh komposisi kepengurusan PSMS periode 2004-2008 disusun sendiri oleh Abdillah yang ketika itu formatur tunggal, Malah saya yang mendorongnya sebagai formatur tunggal,” ujar Martius sedikit menyesal.

Berangkat dari situ, Martius meminta Walikota Medan untuk bertangungjawab atas kemerosotan prestasi Ayam Kinantan itu. “ Abdillah sudah dua periode memimpin PSMS. Ia harus bertanggungjawab termasuk mempertanggungjawabkan penggunaan dana puluhan miliar uang rakyat. Kalau tidak mampu, mundur sajalah,” kecamnya.

Sebenarnya cukup aneh juga, lelaki berkulit hitam ini menohok Walikota Medan. Bukan lagi rahasia, kalau ia tadinya cukup akrab dengan Abdillah. Pada masa pemilihan Walikota 2004 lalu, pria berdarah Maluku ini cukup berperan memuluskan langkah Abdillah untuk bertahan di singgasana Walikota Medan untuk kali ke dua. “ Bung, sekarang kita bukan bicara pertemanan. Tapi soal sepakbola. Tolong dibedakan,” ungkapnya.

Sepotong pertanyaan kemudian meluncur. Apakah bukan karena sakit hati karena terdepak dari kepengurusan PSMS sekarang? “ Saya tidak perduli apa kata orang. Kalau saya tidak dimasukan di kepengurusan, tidak masalah. Tapi maunya orang-orang yang duduk di PSMS itu betul-betul righ man on the right place lah. Jangan asal comot saja,” ujarnya enteng.

Lelaki yang Agustus nanti genap berusia 58 tahun terlihat menguasai betul permasalahan yang terjadi di tubuh PSMS. Setelah meneguk Capucino, ia kemudian membeberkan panjang lebar bagaimana oknum tertentu menjadikan PSMS sebagai sapi perahan. Namun inti dari yang dibicarakannya: “ Kalau sudah bohong dalam hal pembangunan pisik, jangan lagilah berbohong untuk hal yang sifatnya kepentingan masyarakat banyak. Itukan namanya rakus,” sebutnya menyentil seseorang.

Sejatinya, sejumlah kebijakan pengurus yang dinilai kontroversi sudah mulai terlihat sejak Liga Indonesia ke XII akan diputar Januari lalu. Semua berhulu sejak dipindahkannya pemusatan latihan PSMS dari Stadion Kebun Bunga ke kompleks stadion TD Pardede di Jalan Binjai.

Alasan manajemen memindahkannya karena Stadion Kebun Bunga dianggap tak lagi refresentatif sebagai kawah candra dimuka tim sebesar PSMS Medan. Karena itu perlu direnovasi dengan menambah sejumlah fasilitas yang dapat mendukung pencapaian prestasi.

Seiring dengan perjalanan waktu, memasuki bulan ke tujuh, tanda-tanda untuk melakukan renovasi tak kunjung terlihat. Kondisinya dibiarkan terlantar tak terurus seperti rumah hantu. Bahkan banyak asset didalamnya raib entah kemana, “ Di sinilah roh sebenarnya PSMS. Dulu kebun bunga adalah tempat yang paling sakral. Tak pantas manajemen memindahkannya tampa alasan kuat,” ujar mantan wartawan senior Kompas, Syamin Pardede.

Malah, sumber Global lain yang berprofesi sebagai pejabat di lingkungan Pemko Medan lebih berani lagi . Menurutnya, pemindahan home best itu merupakan salah satu bentuk arogansi pengurus. “Alasan pemindahan itu hanyalah akal-akalan pengurus yang merasa tidak nyaman karena tak mau menerima kritik,” ujarnya. Ia menengarai pemindahan home best PSMS itu untuk memuluskan sejumlah oknum pengurus untuk meraih keuntungan pribadi.

“Mereka melihat di sini — stadion kebun bunga, banyak mantan pemain PSMS yang miskin. Mereka takut kalau mantan pemain ini merampas rezeki mereka,” ujar pria berpostur tinggi dan berkulit putih itu.

Caruk maruk di tubuh PSMS ini memang harus segera diselesaikan. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin masalah ini akan kian meruncing. Persoalan PSMS pun akan menjadi sebuah kursi panas bagi sang ketua umum.

No comments