Mengaca Diri

Share:

“Pers Nasional Mengaca Diri” dipilih menjadi tema perayaan ulang tahun Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Sumut ke-61 yang jatuh pada Kamis kemarin di Hotel Polonia, Medan.

Pemilihan tema tersebut didasari ketatnya persaingan antara media cetak dengan media elektronik terutama televisi. Persaingan luar biasa itu memerlukan langkah-langkah strategis untuk memenangkannya, yang tentu saja dalam hal ini bersaing secara sehat.

Memang sejak reformasi digulirkan pers Indonesia memeroleh kemerdekaan dari terkungkung ancaman sensor dan bredel. Kini pers berkembang pesat. Masyarakat dapat memilih berita layaknya memilih makanan.



Namun ironisnya setelah pers lepas dari paradigma state centered ke paradigma civil centered, media di Indonesia justru lupa bahwa mereka bertanggung jawab pada publik. Media massa hanya berorientasi pada kepentingan bisnis semata. Dan, dalam praktiknya kita masih menyaksikan media cetak maupun elektronik yang menampilkan gambar-gambar porno atau berbau darah, serta pemberitaan-pemberitaan yang mengeksploitasi kekerasan, seks. Media seperti ini tidak lagi menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik. Pengelola media hanya melihat keinginan pasar tanpa memperhatikan dampak negatif pemberitaan tersebut.

Merujuk dari data SPS tahun 2005, dari 829 surat kabar yang terbit di Indonesia setidaknya 70 persen diantaranya tidak layak secara bisnis karena minimnya tiras (oplah) dan minimnya pemasukan iklan. Bahkan, 30 persen sisanya yang bisa disebut benar-benar layak dan sehat secara bisnis hanya beberapa perusahaan.

Melihat fakta di atas, wajar saja kalau kemudian pers tanah air tak pernah sepi dari kritik dan tudingan negatif. Bahkan Sekdaprovsu, Muhyan Tambuse dalam sambutan dalam diskusi “Pers Nasional Mengaca Diri” kamarin, khawatir bila pers tidak segera berbenah diri maka ia akan menjelma menjadi bahaya laten di tubuh pers itu sendiri. Pers menjadi hantu yang siap menyebarkan bencana khususnya bagi demokratisasi media.

Tema yang diusung SPS begitu relevan untuk membangkitkan kembali kondisi yang sudah terpuruk. Kini saatnya kritik dan tudingan yang dialamatkan ke tubuh pers tanah air harus disikapi bersama oleh masyarakat pers.

Pers harus menyadari bahwa mereka tidak seperti perusahaan tahu, kerupuk, atau rokok yang tujuan utamanya keuntungan. Pers adalah sebuah institusi yang punya tanggungjawab untuk mencerdaskan publik, memberikan informasi yang bergizi, dan sekali-kali menjadi watchdog pemerintah. Mata hati pers pada nurani. Seperti memilih makanan, pers semestinya memberikan pilihan-pilihan yang dibutuhkan dalam mengembangkan potensi warga: mencerdaskan sekaligus memberdayakan.

Sehingga pers bisa menjadi sarana untuk membangun bangsa, untuk menyampaikan kebenaran dan harapan bagi semua makhluk ciptaan Tuhan. Bukan sebaliknya, menebarkan ketakutan dan ancaman. Dirgahayu SPS, dirgahayu Pers Indonesia.

No comments