Pak Tuntung, Membungkus Senyum, Merengkuh Untung (2)

Share:
Karakter Pak Tuntung dari Harian Analisa Medan
PANTAU Edisi September 2002, No. 029


PAK Tuntung bukan satu-satunya serial kartun Medan. Hampir setiap suratkabar Medan melahirkan karakter kartun. Misalnya Medan Pos ada Jaluntung, Sinar Indonesia Baru ada Si Suar Sair. Beberapa tahun lalu, harian Waspada juga punya tokoh kartun bernama Si Gumarapus. Bahkan Waspada membungkusnya dalam suplemen khusus mingguan.
Di suplemen ini pembaca dimanjakan dengan karikatur, kartun, dan komik warna-warni. Ada tokoh koboi bernama Toma, ada Rimba yang hidup di hutan belantara, sampai tokoh heroik Elang Sakti.

Sayang, Waspada tak menggarap suplemen itu lagi. Rubrik kartun ataupun karikatur tadi seolah hanya pelengkap suratkabar. Si Suar Sair dan Jaluntung, menurut saya, terkesan monoton dan kering senyum. Bisa jadi karena gambarnya yang agak kasar atau tema-tema yang dimunculkan kurang menarik. Tak ada isu segar dan lucu yang dimunculkan.

Beberapa kartun yang diusung media baru pun sama saja. Sebutlah seperti Bang Kombur (Mediator), Si Ponden (Analog), Si Luncai (Sumatra), dan beberapa tokoh lainnya. Kalaupun kartun-kartun tadi bisa menyerap perhatian sekelompok pembaca, itu tak lain karena peruntukannya bergeser.

Kartun-kartun itu kerap menemani abang-abang becak, pemuda-pemuda di warung kopi, sampai inang-inang (ibu-ibu) di rumah. Kartun bisa jadi bahasan untuk toto gelap atau KIM Medan, undian berhadiah. Malahan ada beberapa tokoh kartun yang berkesan sengaja diciptakan untuk meraih pasar ini. Di rubrik kartun Bang Kombur milik harian Mediator, misalnya, terkadang diselipi nomor-nomor atau kata-kata sandi yang mengilhami pembaca untuk merangkainya.

Hal serupa juga terdapat di kartun Jaluntung milik Medan Pos. Inilah yang membedakan mereka dengan Pak Tuntung. Analisa setia pada misi suratkabar sebagai medium hiburan dan kritik sosial bukan medium perjudian. Dari segi grafis dan penggarapan, Pak Tuntung jauh lebih baik. Setiap tema yang diciptakan kreatornya juga menyegarkan dan up-to-date. Tak heran, redaksi Analisa amat menyayangi rubrik Pak Tuntung.

War Djamil mengatakan kalau kehadiran Pak Tuntung membawa berkah bagi Analisa. Redaksi sering kerepotan menampung banyaknya iklan masuk. Sebagian pengiklan minta supaya dipasang dekat Pak Tuntung. Karena itu posisinya selalu dari halaman sebelas lalu ke halaman dua.

“Kita tidak bisa menolak permintaan pengiklan. Tapi lama-lama hal ini mengganggu berita-berita Medan yang juga kian banyak,” tutur War Djamil. Sejak lima tahun lalu, akhirnya diambil keputusan memindahkan rubric Pak Tuntung ke halaman olah raga. War Djamil memperkirakan para pengiklan, terutama dari etnik Tionghoa, percaya feng shui bila dekat rubric ini. Alasan lain segi kepraktisan, iklan langsung diketahui pembaca. Soalnya, pembaca Analisa tak lupa membuka halamannya Pak Tuntung.

BASUKI sendiri lahir 50 tahun lalu di Serbelawan, kabupaten Simalungun, sekitar 120 kilometer dari Medan. Orangtuanya memberi nama Hu Wie Tian. Saat Orde Baru memaksa orang-orang Tionghoa menekan identitas diri, antara lain dengan mengubah nama tiga sukukata itu, membuatnya berganti nama Basuki. Dari kecil, Basuki suka menggambar, mencoret apa saja. Bakatnya makin berkembang saat duduk di bangku sekolah menengah. Wali kelasnya, Paulus M. Tjukrono tertarik. Tjukrono juga jadi wartawan Analisa. Tjukrono inilah yang mengajak Basuki jadi kartunis.

Pertama kali sosok Pak Tuntung sangat sederhana. Gaya pakaiannya mirip Elvis Presley. “Elvis kan symbol generasi muda saat itu. Dia digandrungi anak-anak muda, jadi saya pikir sosok Pak Tuntung akan mudah diterima masyarakat,” jelas Basuki.

Perjalanan waktu membentuk Pak Tuntung lebih dewasa. Basuki ikut menikmatinya. Kartun itu lebih hidup. Sekarang Basuki membuat coretan-coretan dasar Pak Tuntung di kertas sepanjang 23,5 centimeter dan lebar sembilan centimeter. Sentuhan terakhir dilakukan dengan tinta hitam yang halus dan kasar. Sosok Pak Tuntung selalu diikuti dengan latar yang sangat detail.

“Saya tidak mau serampangan,” ujarnya. Basuki bisa menghabiskan waktu dan tenaga untuk menggambar latar—sebuah teknik yang membantu kartunis untuk memunculkan konteks sosial kartunnya. Ini yang membedakan Pak Tuntung dengan kebanyakan kartun Indonesia, termasuk Medan, yang dibuat tanpa konteks sosial. Kalau temanya kota Medan, Basuki memunculkan ciri khas Medan berupa gambar menara Perusahaan Air
Daerah Tirtanadi. Pekerjaan itu dilakukan pada malam hari. Pagi hari, Basuki harus masuk kantor Analisa, karena ia juga nyambi di bagian periklanan. Kalau jenuh, sesuatu yang wajar karena pekerjaan itu sudah digarapnya selama 29 tahun, ia menggali ide dengan membolak-balik suratkabar dan majalah atau bertanya kepada orang lain. Tak ada libur untuk Pak Tuntung kecuali Analisa tidak terbit. “Maret tahun depan, usia kartun Pak Tuntung genap 30 tahun,” kata Basuki.

Basuki sesekali membuat kartun lain dan mengirimnya ke suratkabar lain. Harian Lianhe Saobao, suratkabar berbahasa Mandarin terbesar di Singapura, adalah pilihannya. Ini menyegarkan Basuki karena sesekali keluar dari format Pak Tuntung. Sampai saat ini Basuki sendiri tak tahu sudah berapa banyak kartun yang dibuatnya. Ada kartunnya yang masuk Divisi Filateli PT Pos Indonesia.

Pak Tuntung dibuat dalam bentuk prangko bersama dengan beberapa tokoh kartun lain seperti Panji Koming (Kompas), Mang Ohle (Pikiran Rakyat), Pak Bei (Suara Merdeka), dan I Brewok (Bali Post).

“Satu penghargaan yang tinggi buat saya pribadi dan kebanggaan bagi perusahaan.Setidaknya dalam hidup, saya sudah bisa berbuat sedikit untuk negara ini,” ucapnya. Basuki tetaplah Basuki. Ia tetap sosok sederhana. Sama seperti tokoh kreasinya yang cuma berdandan ala 1970-an, berkemeja putih dengan lengan digulung, ramah, murah senyum, juga bersahabat.


DEDY ARDIANSYAH (Kartun) reporter tabloid
Komatkamit di Medan, menetap di Medan sejak 1995, dan
menjadikan Analisa salah satu media referensinya.

No comments