
Jumlah bangunan tua bermuatan sejarah mahapenting di kota Medan kian merana. Nasibnya tergusur seiring derap pembangunan pisik
Rumah berlantai dua itu berdiri sejak 1923. Ia terletak di Jalan Warni atau kawasan Brigjen Katamso di Kelurahan Suka Raja Medan. Jaraknya hanya sebulir keringat dari tembok Istana Maimoon, berhimpit dengan rumah-rumah pertokoan (ruko). Dua pekan lalu, rumah tua itu diratakan karena pemiliknya tak kuasa saat ditawar dengan uang senilai Rp. 1,2 miliar.
Kendati rumah itu termasuk dalam bangunan cagar budaya yang harus dilindungi, Nya Ida mengaku pihak Pemko tidak pernah memberi perhatian. “ Padahal dulu waktu masa kecilnya Abdillah — maksudnya walikota Medan , sering main-main ke sini,” jelasnya.
Kisah Ny Ida mungkin juga dirasakan semua pemilik rumah-rumah tua di Medan . Mereka menghadapi dilema antara dua kepentingan yang saling berbenturan. Di satu pihak, pemerintah mengharapkan bangunan tua itu tetap dilestarikan, namun di sisi lainnya, sang pemilik bangunan tua tak kuasa menghadapi kebutuhan hidup yang demikian komersial.
Lembar Sejarah yang Terkoyak Jaman
Executive Director Badan Warisan Sumatera, Ir Soehardi Hartono MSc, menilai penghancuran bangunan-bangunan tua sangat tergesa demi meraup keuntungan jangka pendek. Kebijakan yang sekadar mengejar pendapatan asli daerah.
Menurutnya, nasib monumen masa lalu di kota Medan kini hanya terekam dalam sebuah bingkai foto bisu. Menyisakan nama dan cerita kejayaan masa lalu. Saksi hidup dari lembaran sejarah yang terkoyak itu, diantaranya eks Kantor Bupati Deli Serdang di Jalan Brigjen Katamso, Gedung South East Asia Bank di Jalan Ahmad Yani, eks Kantor Dinas Pekerjaan Umum Medan di Jalan Listrik, bangunan bersejarah Balai Kerapatan Adat di Jalan Brigjen Katamso, serta sembilan pemusnahan rumah panggung di Jalan Timur.
Di Jalan Suka Mulia, eks Kantor Badan Kepegawaian Daerah Sumatera Utara juga sudah rata dengan tanah. Rencananya, di bekas lokasi gedung tua ini akan dibangun apartemen mewah. Tiga tahun lalu bangunan bersejarah yang merupakan perpaduan arsitektur Eropa dan tropis, yaitu eks Gedung PT Mega Eltra, juga rata dengan tanah.
Perlahan bangunan yang berusia 75 tahun itu pun telah dihancurkan. Bagian atap dan seluruh dinding dalam bangunan itu tak kuasa menahan kecanggihan tehnologi abad 21. Kejayaan yang tersisa cuma terlihat dari muka dan samping gedung. Itu pun diyakini akan musnah karena bangunan ini rencananya akan disulap menjadi sebuah rumah toko (ruko) bertingkat lima . Bah, nasib bangunan sekaliber Balai Kota di Jalan Balaikota pun harus terintimidasi sebuah mega proyek berjudul City Hall .
Menurut Soehardi, Medan mestinya dapat meniru negara-negara Eropa yang mempertahankan keaslian bangunan bersejarah di bagian luar sementara bagian dalamnya direnovasi sesuai perkembangan zaman. “Kita harus mempertahankan bangunan-bangunan itu karena kita belum tentu dapat membangun yang serupa di masa kini. Kita bisa belajar bagaimana Jerman mengelola asset kota tuanya. Penonton tak hanya menikmati pagelaran piala dunia saja, tapi di sana mereka juga disuguhi keindahan gedung-gedung tua bersejarah,” sebut Soehardi.
Lebih jauh lelaki yang mengambil gelar S2 arsitek dan perencanaan kota di Technical University Delft melihat pola umum yang terjadi, terutama di masa reformasi, justru kecenderungan pemerintah kabupaten/kota menjual asset aset negara. “ Jika pemerintah melihat kota itu sebagai asset, itu berarti budaya dan segala peninggalan sejarah di dalamnya cenderung tergadaikan hanya untuk mengejar PAD. Karena budaya dan warisan budaya juga dilihat sebagai asset,” katanya.
Menurut dia, penyebab semua itu tidak lain karena pemerintah tidak punya mekanisme bagaimana seharusnya sebuah rencana pembangunan kawasan harus dilaksanakan. Lebih jauh disebutkan, kondisi seperti ini tak hanya terjadi di Medan. Sebagian besar kota di Indonesia sangat tertinggal dalam sistem pengelolaan dan persepsi terhadap Heritage (warisan). Baik peninggalan budaya masyarakat yang bersifat kasat mata (tangible) maupun tidak kasat mata (intangible).
“Persepsi tentang apa itu heritage masih belum singkron dengan konsep pembangunan. Padahal ini penting supaya pemerintah dapat membuat kebijakan dan menyusun program pelestarian yang bermanfaat untuk jangka panjang,” kata Soehardi.
Penyamaan persepsi tentang pelestarian warisan budaya ini tidak hanya dibebankan kepada sejarawan, arsitek ataupun BWS. Namun juga tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota untuk merumuskan peraturan dan sistem kerja sehingga kekayaan warisan budaya masyarakat terlindungi.
Karena bila warisan budaya itu dikelola dengan sistematis maka akan memberikan topangan kesejahteraan, bukan cuma pada sisi budaya, tetapi juga sisi ekonomi, wisata, dan sistem sosial yang terpelihara.
Apalagi di Sumatera Utara memiliki potensi natural heritage (warisan alam) dan cultural heritage (warisan budaya) yang sangat kaya. Cultural heritage, yang bersifat intangible meliputi budaya, bahasa, kecakapan membuat kerajinan, kecakapan membuat tembang dan karya seni.
Sayangnya, konsep tersebut seringkali diabaikan. Akibatnya, kekayaan warisan budaya masyarakat pun kian memudar, kian jauh dari konteks kehidupan riil, dan akhirnya terbengkalai.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Harus ada mekanisme agar tiap rencana perubahan kota , apalagi menyangkut warisan budaya yang menjadi hak publik untuk tahu, dan berpartisipasi,” katanya.
Karena itu, dalam hubungan ini, pemerintah harus menjadi contoh pengelolaan gedung-gedung tua yang menjadi asset mereka, sehingga dapat mendorong masyarakat dan kalangan nonpemerintah untuk menumbuhkembangkan kesadaran pengelolaan dan pelestarian warisan budaya heritage.
Pemerintah kota mesti tanggap dan merespon cepat saran ini. Karena umumnya kita lebih jago dikonsep namun kedodoran implementasinya dengan berbagai alasan. Kalau sudah begini, kita hanya menunggu waktu hilangnya sebuah jati diri Kota Medan.
Harian Global, 9 Juli 2006
No comments
Post a Comment