Izinkan Luna Jadi Manusia

Share:
Mari sejenak membayangkan Luna Maya kecil dengan kaki berlepotan lumpur karena sering main di sawah. Mari bayangkan Luna mengejar layang-layang di sebuah kampung di Bali. 



Kita memang hanya bisa membayangkan karena jika Luna sekarang masih main lumpur atau mengejar layang-layang, barangkali hal itu akan menjadi berita besar. Maklum, Luna bukan lagi bocah kampung, melainkan artis yang pada pengujung tahun 2009 ini paling banyak diperbincangkan orang.

Sebagai artis terkenal, apa pun yang menyangkut hidupnya—meski remeh-temeh—bisa jadi berita. ”Sampai-sampai orang ingin tahu baju dalam saya bagaimana. Heran deh, apa pentingnya,” kata Luna ketika ditemui seusai acara musik Dahsyat di Studio RCTI, Jakarta, Kamis (24/12).
Bagaimana rasanya jadi sorotan? Luna mendesahkan napas. ”Kadang saya merasa bukan lagi manusia, melainkan robot yang terus-terusan melayani keingintahuan publik,” ujarnya.

Gadis kelahiran Bali, 26 Agustus 1983, itu mengaku sadar, ketika dia terjun ke dunia hiburan, kehidupan pribadinya bakal terusik. Namun, dia tidak menyangka seluruh aspek hidupnya akan diobok-obok dan jadi tontonan orang. ”Terus terang, saya risi.”
Luna merasa jadi komoditas?

”Ya, saya tidak ada bedanya dengan handphone di pertokoan Roxy,” jawab Luna tanpa menutupi kegundahannya.

Belakangan ini Luna memang sedang gundah. Meski demikian, dia tetap cantik. Pipinya merona merah dan matanya bercahaya. Rambut lurusnya digerai begitu saja dan melambai-lambai tertiup angin yang keluar dari penyejuk ruangan di Studio RCTI.
Jadi, Luna ingin bagaimana?

”Saya ingin diperlakukan seperti manusia biasa yang punya rasa dan hak individu. Saya ingin bebas melakukan sesuatu tanpa takut jadi sorotan orang. Saya juga ingin bisa berbagi,” kata Luna yang tahun lalu bersama teman-temannya mendirikan Yayasan Syair untuk Sahabat.
Yayasan yang didedikasikan untuk ODHA (orang dengan HIV/AIDS) itu barangkali adalah sedikit ruang bagi Luna untuk menjauh barang sebentar dari dunia hiburan yang ingar-bingar, gemerlap, dan sarat intrik.

Sandiwara
Luna termasuk artis laris Tanah Air. Wajahnya hampir setiap hari muncul di acara musik, sinetron, video klip, gosip, hingga iklan. Padahal, dia mengaku tidak sengaja tercemplung ke dunia hiburan.
Pemicu awalnya adalah ketika wajah Luna terpilih sebagai pemenang ketiga cover girl majalah remaja tahun 1999. Saat itu ia masih kelas II SMP Swastiastu, Denpasar, Bali. ”Saya ikut pun karena desakan teman-teman,” kenangnya.

Setelah lulus SMA, dia nekat hijrah sendirian dari Bali ke Jakarta dan bergabung dengan Look Model Inc. Dari sinilah dia mulai menjejaki dunia hiburan. Dia tampil sebagai model iklan dan video klip, kemudian main film, main sinetron, jadi Bintang Lux, presenter, dan belakangan menjadi penyanyi. ”Semua mengalir apa adanya,” katanya.

Tidak terasa, hampir 10 tahun Luna mengalir di pentas hiburan. Selama periode itu, ia memetik banyak pelajaran berharga. Salah satunya adalah soal basa-basi. ”Dunia hiburan itu benar-benar seperti panggung sandiwara. Senyumnya sama artifisialnya dengan make up yang dipakai,” ujar Luna.

Siang itu, dia ”mempraktikkan” bagaimana senyum yang artifisial. Ketika itu, perbincangan terpotong karena ada beberapa perempuan yang ingin berfoto dengannya. Luna pun tersenyum manis dan melayani mereka satu per satu meski hari itu dia sedang gundah.
Apa tidak capek seperti itu?

”Ya, capeklah. Itu tidak sesuai dengan karakter saya yang sebenarnya. Saya ini bukan tipe orang yang peres (basa-basi dan berpura-pura). Tapi, lama-lama saya harus mengerti dan bertoleransi juga,” kata Luna.
Dunia hiburan, lanjutnya, juga kejam. Persaingannya saling menjatuhkan. ”Ada lho sahabat yang ternyata berusaha menjatuhkan. Kalau tidak hati-hati, kita bisa tergelincir,” tuturnya.
Duh, siapa yang tega menggelincirkan orang secantik Luna!


 KOMPAS CETAK
Minggu, 27 Desember 2009 | 04:18 WIB 
Budi Suwarna

No comments